Oleh: Dr.dr.Taufiq Pasiak, M.Kes., M.Pd.I., MH., CIPA. (Ilmuwan otak, Dekan FK UPN Veteran Jakarta)
Anda mungkin melihat, mendengar atau membaca fenomena ini, tapi mungkin tidak mencermati apalagi menyadarinya.
Di panggung politik Indonesia yang riuh rendah, sering kali kita menyaksikan fenomena menarik: hadirnya tokoh-tokoh yang seolah sengaja dikorbankan citra publiknya.
Mereka menjadi sasaran kebencian kolektif melalui keputusan tidak populer, gaya komunikasi provokatif, atau sikap yang memancing resistensi publik. Dalam kacamata psikopolitik, mereka memainkan peran krusial yang jarang disadari: sebagai penyerap kebencian, atau yang saya sebut “petir penangkal” kemarahan massa.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui mekanisme, yang saya istilahkan sebagai “amygdala-driven emotions”. Amygdala—struktur kecil berbentuk almond dalam otak kita—bertanggung jawab dalam pengolahan emosi-emosi primitif: takut, marah, dan jijik.
Ketika masyarakat mengalami frustrasi kolektif akibat ketidakadilan, kemiskinan, atau ketimpangan kekuasaan, amygdala kita secara naluriah mencari objek untuk dilabeli sebagai musuh. Supaya emosi itu punya saluran, punya jalan untuk dilampiaskan. Ini mirip respons cepat sistem berpikir otomatis kita, seperti yang dijelaskan Daniel Kahneman dalam teori Sistem 1 dan Sistem 2.
Dalam konteks politik Indonesia, tokoh-tokoh penyerap kebencian menjadi sasaran yang “aman”, karena mereka mudah diakses namun tidak mewakili kekuasaan puncak secara langsung. Perhatikan bagaimana beberapa menteri atau pejabat publik tertentu seolah dibebaskan untuk membuat pernyataan kontroversial atau menampilkan gaya komunikasi yang memancing amarah. Mereka menjadi sosok yang ramai dibicarakan di media sosial, bahan meme, hingga sasaran cacian.
Sementara publik sibuk mencurahkan energi untuk membenci tokoh-tokoh ini, pusat kekuasaan sebenarnya presiden, oligarki, atau struktur partai tetap aman dari gempuran kritik langsung.
Fungsi ini serupa dengan dinamika ventilasi emosi dalam keluarga disfungsional: seseorang dijadikan tempat pelampiasan agar stabilitas kelompok tetap terjaga. Dalam konteks negara, individu-individu ini menjadi “kontainer” dari emosi destruktif publik, sehingga tekanan yang seharusnya menghantam sistem tidak sampai membahayakan legitimasi kekuasaan. Hasilnya adalah katarsis massal yang diarahkan dan dikendalikan.
Sigmund Freud melihat fenomena ini sebagai bentuk “proyeksi”—mekanisme pertahanan di mana masyarakat memindahkan kemarahan dan frustrasi mereka ke figur simbolik yang “aman” untuk dibenci. Bagi Freud, proyeksi adalah cara ego untuk menangani impulsi yang mengancam dengan memindahkannya ke luar diri.
Pada level kolektif, proyeksi memungkinkan masyarakat menyangkal ketidakberdayaan mereka dengan menciptakan ilusi perlawanan melalui kebencian terhadap “musuh bersama” yang lebih mudah dijangkau. Alih-alih menghadapi kecemasan terhadap sistem yang kompleks dan sulit dijangkau, publik mengarahkan emosinya pada individu yang terlihat.
Proyeksi ini membuat masyarakat merasa telah “melawan”, padahal sebenarnya hanya terjebak dalam permainan emosional yang dirancang oleh kekuasaan.
Antonio Gramsci (1971) memperluas pemahaman ini melalui teori hegemoninya: kekuasaan modern tidak lagi bertahan melalui kekerasan fisik semata, tetapi melalui manipulasi kesadaran dan konstruksi narasi. Gramsci berpendapat bahwa kekuatan terbesar penguasa justru terlaksana ketika rakyat mengadopsi pandangan dunia yang menguntungkan penguasa tanpa merasa dipaksa.
Konstruksi narasi menjadi instrumen utama kekuasaan—bukan sekadar menuliskan ulang realitas, tetapi menciptakan kerangka berpikir yang membuat dominasi terasa alami dan tak terelakkan.
“Petir penangkal” adalah bagian dari narasi besar yang mempertahankan kekuasaan dengan cara tak kasat mata. Publik diizinkan memiliki “katup pelepasan” kemarahan—selama katup itu tidak membahayakan sistem.
Inilah yang Gramsci sebut sebagai “konsensus terorganisir”—rakyat merasa memiliki kebebasan berpendapat, padahal kebebasan itu sudah diatur arahnya.
Mekanisme neuropsikologis ini semakin diperkuat oleh era digital. Algoritma media sosial didesain untuk mengutamakan konten yang memicu emosi kuat—terutama kemarahan. Tokoh-tokoh kontroversial mendapatkan visibilitas lebih besar, menjadi viral, dan semakin efektif sebagai penyerap kebencian. Perhatikan saja dinamika linimasa media sosial Indonesia: dalam hitungan jam, warga bisa beralih dari satu “musuh publik” ke “musuh publik” lainnya, sementara persoalan struktural tetap tidak tersentuh.
Di Indonesia, “para penyerap kebencian” ini memiliki pola yang hampir seragam. Mereka umumnya hadir dengan gaya komunikasi provokatif, sering ditugaskan mengumumkan kebijakan tidak populer, dan secara konsisten menjadi sumber perdebatan publik. Termasuk para pendengung (buzzer) yang kemudian diberikan posisi jabatan tertentu atau wilayah-wilayah kerja tertentu, yang melanjutkan peran mereka sebagai penyerap kebencian, tapi dengan legitimasi formal. Yang menarik, meski dibenci publik, mereka tetap dipertahankan dalam posisinya—bukti bahwa fungsi mereka sebagai “penangkal petir” memang dibutuhkan oleh sistem kekuasaan.
Pola ini terlihat dalam berbagai kasus kontroversial dalam politik Indonesia kontemporer. Seorang pejabat membuat pernyataan tentang kemiskinan yang menimbulkan kemarahan, menteri lain membuat kebijakan pendidikan yang menuai kritik pedas, atau politisi partai berkuasa yang tampil dengan narasi provokatif. Mereka menjadi trending topic, dibahas di berbagai forum, namun struktur kekuasaan yang lebih besar tetap berjalan tanpa gangguan berarti.
Yang lebih mengkhawatirkan, strategi ini berhasil menciptakan polarisasi terus-menerus di masyarakat. Energi publik terkuras dalam perdebatan tentang tokoh-tokoh kontroversial, sementara isu-isu struktural seperti oligarki, ketimpangan ekonomi, atau pelemahan demokrasi tetap bergerak tanpa banyak resistensi berarti.
Masyarakat terpecah dalam kubu-kubu yang sibuk memperdebatkan pernyataan seorang pejabat, tanpa menyadari bahwa perdebatan itu justru mengalihkan perhatian dari reformasi sistem yang lebih mendasar.
Kesadaran adalah langkah pertama melawan manipulasi. Memahami bagaimana amygdala kita dimanfaatkan oleh kekuasaan memungkinkan kita mengambil jarak dan mempertanyakan: apakah kemarahan kita memang tepat sasaran? Saat kita tergoda untuk mencurahkan energi membenci seorang tokoh kontroversial, ingatlah untuk bertanya: siapa yang diuntungkan dari kebencian ini?
Apakah kita sedang mengkritisi akar masalah, atau sekadar terjebak dalam drama yang disengaja?
Politik Indonesia membutuhkan warga yang mampu melampaui reaksi amygdala, menolak dimanipulasi secara emosional, dan tetap fokus pada reformasi struktural. Kita perlu belajar mengenali ketika amygdala kita sedang dimanfaatkan, ketika emosi dibangkitkan untuk tujuan mengalihkan perhatian.
Dengan kesadaran ini, kita bisa bergerak dari hanya membenci “petir penangkal” menuju mempertanyakan “siapa yang mengendalikan badai”.
Dalam drama politik Indonesia, kemarahan publik telah menjadi komoditas yang dikelola dengan sangat hati-hati. Para arsitek kekuasaan tahu persis bahwa membiarkan rakyat marah adalah berbahaya, tapi mengarahkan kemarahan itu pada sasaran yang “aman” justru bisa memperkuat sistem. Maka hadirlah para penyerap kebencian—tokoh-tokoh yang rela atau terpaksa menjadi wadah kemarahan kolektif demi stabilitas ilusi.
Karena dalam panggung kekuasaan yang canggih, kemarahan publik yang salah sasaran bukan ancaman—melainkan bagian dari skenario. Kemarahan yang menyimpang dari sasaran sebenarnya bukanlah kecelakaan, melainkan rekayasa politik yang disengaja dan dikoordinasikan. Para arsitek kekuasaan memahami bahwa emosi kolektif, terutama amarah, dapat dimanipulasi seperti aliran air—tidak bisa dihentikan, tetapi bisa dialihkan ke kanal-kanal yang tidak membahayakan fondasi sistem.
Mereka dengan sengaja menciptakan teater kebencian publik yang menyita perhatian, sambil diam-diam mengamankan kepentingan strategis mereka. Dan selama publik sibuk membenci boneka, sang dalang tetap aman di balik layar, menggerakkan tali-tali kekuasaan dengan tangan yang bersih dari kebencian massa. Saya masih mendalami kontruksi lebih dalam lagi; apakah fenomena ini adalah cerminan public kita yang—konon—punya IQ rendah, yang katanya sedikit di atas public Timor Leste? Wallahu a’lam.
———