Tantan Taufiq Lubis
- Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Majelis Nasional KAHMI/Pemerhati Foreign Affair dan Diplomasi)
Sidang Umum PBB sebagai Panggung Diplomasi Multilateral Tertinggi
Dari Soekarno hingga Prabowo, setiap kehadiran Pemimpin mencerminkan Zeitgeist (semangat zaman) eranya, sekaligus visi sang pemimpin terhadap peran Indonesia di dunia. Besok 23 September 2025 Presiden Prabowo akan Menyampaikan Pidato Dalam Sessi Debat Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, ini bukan sekadar acara protokoler tahunan Bagi seorang pemimpin dunia, Ia membawa makna strategis dan simbolis yang sangat dalam, baik untuk posisi Indonesia di panggung global, juga khususnya bagi Presiden Indonesia yang baru saja menjabat seperti Prabowo Subianto, forum ini merupakan panggung diplomasi multilateral yang paling strategis dan bergengsi. Kehadiran seorang presiden di Sidang Umum PBB memiliki makna yang jauh melampaui sekadar menyampaikan pidato, ia adalah sebuah pernyataan politik, sebuah momentum untuk membentuk narasi, meneguhkan Gerakan diplomasi dan sebuah kesempatan langka untuk memperjuangkan kepentingan nasional di hadapan seluruh dunia. Tampil di hadapan 193 negara sebagai kepala negara yang diakui secara internasional akan memperkuat legitimasi dan wibawanya di mata rakyat Indonesia. Ini menunjukkan bahwa dunia menerima dan menghormati hasil proses demokrasi Indonesia dan kepemimpinannya. Inilah yang kemudian kita namakan sebagai Gerakan sistematis Mengonsolidasikan Legitimasi dan Otoritas Domestik.
Di tengah dunia yang penuh gejolak (perang, ketegangan geopolitik, resesi), kehadiran pemimpin dari negara demokrasi terbesar ketiga di dunia yang relatif stabil dan ekonominya mulai tumbuh adalah pesan yang kuat. Indonesia hadir bukan sebagai sumber masalah, tetapi sebagai bagian dari solusi dan penjaga stabilitas. Prabowo datang bukan hanya sebagai pemimpin Indonesia, tetapi juga sebagai representasi dari suara negara-negara berkembang atau Global South Countries, ASEAN, dan dunia Muslim yang moderat. Pidatonya akan menjadi instrument untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power) yang dapat menjembatani kepentingan berbagai blok negara. Tentunya ini akan Mengerek Status Indonesia sebagai Middle Power dan Global Swing State.
Bagi Presiden Prabowo, Sidang Umum PBB 2025 akan menjadi debut globalnya yang paling resmi, meski sebelumnya telah menghadiri forum APEC di Peru, G20 dan BRICS di Brazil serta ASEAN Summit di Malaysia. Lima tahun ke belakang, dunia internasional mengenalnya sebagai Menteri Pertahanan dengan pendirian yang tegas. Kini, Prabowo tampil sebagai Kepala Negara dari negara demokrasi terbesar ketiga dan kekuatan ekonomi utama G20. Pidato pertamanya di mimbar PBB adalah kesempatan untuk mentransformasi persepsi internasional dari figur militer menjadi seorang negarawan global yang visioner. Kehadirannya memberikan legitimasi dan pengakuan de facto dari komunitas internasional terhadap kepemimpinannya, memperkuat posisinya baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Mimbar Sidang Umum PBB adalah medium terbaik untuk mendemonstrasikan komitmen Indonesia pada politik luar negeri “bebas dan aktif” bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam tindakan. Di tengah polarisasi global akibat isu Palestina, perang Rusia-Ukraina, ketegangan AS China, dan krisis lainnya, dunia menanti posisi dan peran nyata Indonesia. Presiden Prabowo dapat menggunakan kesempatan ini untuk menegaskan bahwa Indonesia tidak akan masuk dalam blok mana pun, tetapi akan aktif menjadi jembatan perdamaian dan penengah konflik. Dengan menyampaikan pesan perdamaian, keadilan, dan kerja sama dari podium yang sama yang pernah digunakan oleh Bung Karno puluhan tahun lalu, Prabowo dapat menghubungkan diri dengan tradisi besar diplomasi Indonesia sekaligus menawarkan sudut pandang Indonesia untuk menyelesaikan masalah global.
Sidang Umum PBB adalah “pasar dunia” bagi kepentingan nasional. Bagi Indonesia, setidaknya ada tiga kepentingan utama yang bisa diperjuangkan yaitu :
-
Kepentingan Politik : Dukungan untuk Palestina adalah prinsip dasar diplomasi Indonesia. Pidato di Sidang Umum PBB adalah momentum untuk tidak hanya mengulang komitmen tetapi untuk menggalang dukungan internasional yang lebih konkret, mungkin dengan menawarkan inisiatif perdamaian baru atau mengecam ketidakadilan yang terus berlangsung. Ini juga peluang untuk memperkuat kepemimpinan Indonesia di ASEAN dan memperjuangkan isu-isu kawasan seperti di Laut China Selatan.
-
Kepentingan Ekonomi: Forum ini adalah ajang soft diplomacy ekonomi yang sangat efektif. Pertemuan bilateral dengan para pemimpin negara dan CEO perusahaan global di sela-sela sidang dapat digunakan untuk mempromosikan investasi, terutama dalam proyek strategis nasional seperti hilirisasi industri, pembangunan infrastruktur dan transisi energi. Prabowo dapat mempresentasikan Indonesia sebagai destinasi yang stabil dan menjanjikan di tengah gejolak ekonomi global.
-
Kepentingan Strategis: Isu-isu seperti perubahan iklim, krisis pangan, dan tata kelola keuangan global adalah concern seluruh bangsa. Dengan menyuarakan solusi dan komitmen Indonesia, Prabowo dapat memposisikan Indonesia bukan hanya sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang aktif membentuk arsitektur global yang lebih adil. Ini sejalan dengan visinya untuk membawa Indonesia menjadi negara yang disegani.
Nilai praktis terbesar dari kehadiran Presiden Prabowo ke General Assembly of United Nation di New York terletak pada pertemuan-pertemuan di sela-sela sidang. Dalam beberapa hari, seorang presiden dapat bertemu dengan Ratusan pemimpin dunia yang hampir mustahil dijumpai dalam waktu singkat di tempat lain. Network building ini sangat berharga untuk membangun hubungan pribadi (personal chemistry) yang seringkali menjadi kunci dalam menyelesaikan masalah diplomatik atau kesepakatan dagang di masa depan. Bagi Prabowo, ini adalah kesempatan emas untuk tidak hanya sekedar memperkenalkan diri, namun lebih dari itu Adalah untuk membangun kepercayaan, dan menciptakan aliansi-aliansi strategis baru untuk Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional.
Bagi Presiden Prabowo, kehadiran di Sidang Umum PBB adalah sebuah keharusan strategis. Ini lebih dari sekadar kewajiban protokoler, ini adalah investasi politik dan ekonomi untuk masa jabatannya. Pidato di podium hijau PBB adalah pengumuman resmi kepada dunia bahwa Indonesia di bawah kepemimpinannya siap untuk memainkan peran yang lebih besar dan lebih vokal dalam percaturan global. Keberhasilan memanfaatkan momen ini bukan diukur dari sambutan atas pidatonya, tetapi dari seberapa efektif ia dapat menerjemahkan kehadiran simbolis itu menjadi legitimasi politik, kemitraan strategis, dan keuntungan yang nyata bagi rakyat Indonesia. Kegagalan untuk tampil dengan kuat di panggung ini bukanlah sebuah opsi, karena dunia akan melihat dan menarik kesimpulannya sendiri tentang tempat Indonesia di bawah kepemimpinan yang baru.
Konteks Historis Kehadiran Presiden Soekarno hingga Prabowo di Sidang Umum PBB
Kehadiran presiden Indonesia yang baru terpilih di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bukanlah sekadar kunjungan kerja biasa. Tradisi ini telah berevolusi menjadi ritual diplomatik yang sarat makna, sebuah pernyataan resmi pertama di panggung global yang menandakan arah politik luar negeri seorang pemimpin baru. Dari Soekarno hingga Prabowo, setiap kehadiran mencerminkan semangat zaman eranya sekaligus visi sang pemimpin terhadap peran Indonesia di dunia. Kehadiran Presiden Indonesia di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) selalu menjadi momen strategis untuk memproyeksikan suara, kedaulatan, dan kepentingan nasional Indonesia di panggung global. Setiap era kepemimpinan membawa motivasi dan isu yang berbeda, mencerminkan dinamika politik domestik dan geopolitik global pada masanya.
Dalam Sejarahnya Presiden Pertama Indonesia Bung Karno hadir di PBB bukan sebagai peserta biasa, melainkan sebagai pembentuk narasi global. Pidato legendarisnya “To Build The World A New” pada 30 September 1960 adalah masterpiece diplomasi. Dalam suasana Perang Dingin, ia tidak hadir untuk mencari legitimasi, tetapi justru memberikan legitimasi kepada PBB dengan menyuarakan suara negara-negara baru merdeka (New Emerging Forces/NEFOS). Kehadirannya adalah perlawanan terhadap status quo (Old Established Forces/OLDEFOS) dan deklarasi bahwa Indonesia adalah kekuatan moral dan politik yang harus diperhitungkan. Bagi Soekarno, Majelis PBB adalah panggung untuk revolusi.
Berbeda dengan pendahulunya, Presiden Soeharto menggunakan podium Sidang Umum PBB untuk memproyeksikan image Indonesia sebagai negara yang stabil, damai, dan sedang membangun, peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Setelah gejolak tahun 1965, kehadiran Soeharto bertujuan meyakinkan dunia bahwa Indonesia aman bagi investasi dan menjadi partner yang bertanggung jawab dalam komunitas internasional. Pidato-pidatonya seringkali berfokus pada pembangunan ekonomi, kerja sama Selatan-Selatan, dan stabilitas kawasan, terutama setelah invasi ke Timor Timur pada 1975 yang membuatnya harus berdiplomasi untuk membela kebijakannya di forum global. Jaman Soeharto Adalah Era Stabilisator dan Pembangunan Ekonomi.
Sementara di Era Pasca-Reformasi 1998, kehadiran presiden Indonesia di Sidang Umum PBB memiliki makna rekonsiliasi dan reintegrasi. Disaat Presiden B.J. Habibie Memimpin, beliau hadir untuk meyakinkan dunia tentang transisi demokrasi Indonesia pasca-Soeharto. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membawa semangat pluralism, Co-eksisten dan perdamaian, mencerminkan identitas baru Indonesia. Sementara Presiden Megawati Soekarnoputri hadir dalam atmosfer pasca tragedy 9/11 dan menyatakan perang Indonesia terhadap radikalisme dan terorisme, sekaligus menegaskan bahwa Islam dan demokrasi dapat berjalan beriringan.
Masa ini adalah era dimana Indonesia berusaha membersihkan nama dan kembali dipercaya sebagai anggota masyarakat internasional yang demokratis.
Kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadikan kehadirannya di Sidang Umum PBB sebagai panggung untuk mempromosikan peran Indonesia sebagai “jembatan” dan “juru damai” global. Dengan percaya diri, ia menyuarakan isu-isu seperti dialog antaragama, demokrasi, dan perdamaian. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia tidak lagi sekadar mengikuti percakapan global, tetapi aktif membentuknya. Kehadiran SBY adalah puncak dari diplomasi soft power Indonesia, yang berhasil mendapatkan pengakuan internasional dan bahkan sempat digadang-gadang untuk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Dan Presiden Joko Widodo membawa gaya yang berbeda. Pidato pertamanya di PBB yang berjudul “Dari Desa ke PBB”, mencerminkan fokusnya yang konkret dan pragmatis. Podium PBB dimanfaatkan untuk diplomasi ekonomi. Ia lebih banyak membahas kerja sama pembangunan, investasi, infrastruktur, dan isu-isu praktis seperti perubahan iklim dan kelapa sawit. Kehadiran Selanjutnya Via Online Presiden Jokowi menggunakan Majelis PBB sebagai panggung untuk meyakinkan investor global dan mempromosikan kepentingan nasional yang sangat teknis pasca Wabah Covid19. Gaya ini menunjukkan evolusi prioritas Indonesia dari politik ideologis ke ekonomi-pragmatis, dan semua dilakukan melalui komunikasi Daring.
Kini, Presiden Prabowo Subianto akan mengikuti tradisi kehadiran di Sidang Umum PBB ini dalam konteks dunia yang sangat berbeda, Dalam situasi perang di Eropa, ketegangan AS-China, krisis iklim, dan ketidakpastian ekonomi global. Prabowo dapat dikatakan berada Di Persimpangan Sejarah, Tentu hehadirannya akan dibaca publik melalui dua lensa:
-
Kontinuitas: Apakah ia akan meneruskan tradisi politik luar negeri “bebas-aktif” dan komitmen pada multilateralisme seperti para pendahulunya.
-
Perubahan: Sebagai mantan jenderal dengan visi yang sering disebut lebih nasionalis dan tegas, apakah ia akan membawa gaya dan substansi baru yang lebih ofensif dalam memperjuangkan kepentingan nasional.