in

Memelihara Kebencian; Kisah Abu Jendes dkk(sambungan tulisan “Amigdala Driven Emotion”

Taufiq Fredrik Pasiak
Ilmuwan Otak, Dekan FK UPN Veteran Jakarta

Namanya terus disebut, meski semua sepakat membencinya. Ketika muncul kabar bahwa Abu Jendes akan diangkat menjadi komisaris BUMN tepatnya Jasa Marga ollroad Operator (JMTO) gelombang kemarahan langsung membanjiri jagat maya. Publik bereaksi spontan: mengecam, menyindir, bahkan memaki. Namun Jasa Marga buru-buru membantah, seolah tahu bahwa namanya terlalu panas untuk disentuh. Lalu mengapa nama itu selalu kembali? Mengapa tokoh sejenisnya selalu muncul dalam berbagai bentuk?

Abu Jendes bukan sekadar individu. Ia adalah fungsi. Ia adalah simbol. Ia adalah ritual.

Kita sedang berhadapan dengan sebuah mekanisme kekuasaan yang tak kasat mata: kebencian yang tidak dilawan, tapi ditata. Bukan untuk dihilangkan, tapi untuk dipelihara. Di negeri ini, mereka yang dibenci justru dibutuhkan. Karena dalam sistem politik yang belajar dari algoritma emosi, yang paling memancing kemarahan justru paling berguna untuk kekuasaan.

Coba kita kulik sedikit bagaimana antropologi membaca fenomena “kebencian terfokus” ini. *René Girard*, _filsuf Prancis_, juga _antropolog_ dan _psikolog_, meneliti bagaimana suatu komunitas menghindari kehancuran internal dengan menempatkan seluruh energi permusuhan pada satu individu atau kelompok. Girard—dalam _*Violence and the Sacred*_ (1972)—berpendapat bahwa _masyarakat purba menghadapi konflik internal yang destruktif akibat hasrat meniru (mimetic desire)_. Orang saling mengingini hal yang sama, dan ini memicu kekerasan. Untuk mencegah kehancuran total, masyarakat menciptakan sebuah mekanisme: mengorbankan satu individu sebagai simbol konflik, agar tatanan sosial bisa pulih. Korban ini sering kali tidak bersalah, tapi dijadikan narasi seakan-akan penyebab segala kekacauan.

Pengorbanan ini menenangkan massa dan gejolak sosial, sembari menciptakan ilusi keteraturan (istilah ‘*kambing hitam*’ tampaknya berasal dari Girard ini. Karena ia menulis buku dengan istilah serupa ‘the _spacegoating’_, 1982)

Sang “korban”—entah individu kontroversial atau figur yang sengaja diposisikan demikian—dipandang mewakili semua kekecewaan publik. Ketika sosok ini dikutuk dan disalahkan, masyarakat merasa telah meluapkan amarah, seakan-akan tengah “menyucikan” kegelisahan kolektifnya. Namun, ironisnya, pengorbanan simbolik seperti ini kerap membuat masyarakat luput menuntut tanggung jawab sistemik. Ia menenangkan amarah sejenak, tapi tidak menyelesaikan permasalahan mendasar. Tuan jangan heran kalau tokoh yang paling dibenci justru terus dipertahankan eksistensinya. Ia bukan sekadar individu—ia adalah struktur. Ia adalah fungsi. Ia adalah ketenangan palsu yang sengaja dibentuk. Apakah Abu Jendes dkk memenuhi kriteria ini? Tuan jawab sendirilah.

Baca Juga :  Ramadan sebagai bulan transformasi (1)

Secara neurobiologis, kemarahan adalah respons naluriah yang berasal dari sistem limbik, terutama amygdala—struktur kecil di otak yang bertugas mendeteksi ancaman dan mengaktifkan reaksi defensif. Dalam situasi _frustrasi sosial, ketidakadilan_, atau _ketimpangan kekuasaan_, amygdala menjadi hiperaktif, membanjiri otak dengan sinyal ancaman yang memicu emosi marah, takut, atau jijik. Namun, kemarahan tidak berhenti di situ.

Ketika emosi tersebut mendapat kanal pelampiasan, misalnya lewat tokoh publik yang kontroversial, otak melepaskan neurotransmiter seperti dopamin—zat yang biasanya dikaitkan dengan kesenangan dan penghargaan. Ini paradoks: melampiaskan amarah bisa menghasilkan sensasi lega, bahkan memuaskan, karena otak menganggapnya sebagai bentuk “resolusi” konflik.

_Anterior cingulate cortex (ACC)_, yang berperan dalam mendeteksi konflik dan mengatur respons sosial, juga terlibat. Dalam konteks pelampiasan massal, ACC membantu meredakan ketegangan dengan menyetujui bahwa “masyarakat telah bertindak.” _Insula_, bagian otak yang memproses rasa jijik dan penilaian moral, memperkuat persepsi bahwa “tokoh ini pantas dimusuhi.”

Sementara itu, _prefrontal cortex_—bagian otak yang seharusnya mengendalikan emosi dan menganalisis secara rasional—sering kali tidak cukup aktif dalam situasi sosial yang sangat emosional dan kolektif. Apalagi jika dibanjiri stimulus dari media sosial. Area-area otak ini membikin suatu orkestra indah dalam pelampiasan amarah. Inilah sebabnya, pelampiasan kolektif terhadap tokoh publik bisa terasa melegakan secara psikologis, menyenangkan secara neurokimia, dan menenangkan secara sosial. Bukan karena masalahnya selesai, tapi karena otak merasa “sudah melakukan sesuatu”—meskipun objek pelampiasannya salah sasaran.

Kalau Anda paham orkestrasi otak ini, maka mudah untuk menghadapi strategi manipulasi seperti ini.

Rasa lega setelah melampiaskan kemarahan bukan hanya urusan psikologis—ia ditanamkan, dipelihara, dan dalam banyak kasus, diskenariokan. Ketika otak menerima imbalan neurokimia dari pelampiasan emosi, sistem digital bekerja seperti dealer yang tahu betul barang dagangannya. Algoritma media sosial mengidentifikasi pola engagement paling tinggi: konten yang membangkitkan emosi keras, terutama kemarahan, jauh lebih sering disebarkan dibanding konten yang rasional dan tenang.

Baca Juga :  Pandangan SBY tentang Perang Rusia-Ukraina

Dalam wilayah remang-remang ini, tokoh-tokoh kontroversial menjadi sangat berguna. Mereka adalah pemantik emosional yang bisa diviralkan berulang kali, menciptakan siklus klik, komentar, dan kemarahan kolektif. Dari perspektif neurologis, masyarakat seperti dilatih untuk menyukai ledakan emosi—bukan karena emosi itu menyelesaikan apa pun, tapi karena ia memberi sensasi penyelesaian semu. Di sini, kebencian tak lagi spontan. Ia berubah menjadi komoditas yang bisa dijual, alat yang bisa diarahkan, bahkan ritual yang bisa dijadwalkan. Kemarahan terhadap satu tokoh muncul, meledak, dan hilang—hanya untuk digantikan oleh tokoh lain. Nama boleh berganti, tetapi fungsinya tetap sama. Yang berpindah bukan substansi, melainkan simbol.

Kekuasaan sedang bekerja secara tak terlihat. Ia tidak perlu membungkam oposisi. Ia hanya perlu menyediakan target yang cukup menjengkelkan untuk menjadi umpan amarah publik. Dan ketika seluruh perhatian tercurah pada satu wajah, satu suara, satu sosok, struktur kekuasaan tetap bergerak tanpa terganggu. Maka wajar bila sebagian tokoh yang paling dibenci justru tetap bertahan. Mereka bukan beban bagi sistem. Mereka adalah bagian dari sistem. Peran mereka bukan untuk disukai, tapi untuk dijadikan tempat membenci. Dan selama mereka bisa menyerap amarah publik, mereka justru semakin dibutuhkan.
Di Indonesia, kita menyaksikan bagaimana kemarahan publik telah dilembagakan, dibingkai, dan bahkan disakralkan.

Tokoh-tokoh yang muncul ke permukaan sebagai sosok paling dibenci sering kali bukan pengambil keputusan utama. Mereka hanyalah kulit keras dari sistem lunak yang tak ingin terlihat. Mereka tampil, memancing emosi, menyerap kemarahan, lalu menghilang atau tetap bertahan dengan legitimasi yang utuh.

Dalam kerangka pemikiran René Girard (1972), mereka memainkan peran sebagai objek pengorbanan simbolik—bukan karena mereka sepenuhnya bersalah, melainkan karena sistem membutuhkan seseorang untuk dijadikan representasi dari keresahan yang tak tertangani. Girard menulis bahwa _masyarakat selalu mencari sosok yang bisa “menampung kekerasan” tanpa membahayakan fondasi sosialnya_. Hari ini, sistem politik Indonesia menemukan cara baru untuk melanggengkan mekanisme ini melalui ruang digital.

Baca Juga :  Pendidikan Bagi Perempuan Menjadi Pilar Kekuatan dalam Pembangunan Nasional

Kita tidak lagi hidup dalam masyarakat berbasis mitos, tapi dalam masyarakat berbasis viral. Namun prinsipnya sama: ritus pelampiasan tetap berlangsung, hanya medianya yang berubah.

Perhatikan bagaimana tokoh-tokoh tertentu selalu muncul dalam rotasi linimasa. Mereka dijadikan bahan hinaan, meme, kritik keras, bahkan ancaman. Tapi mereka tetap hadir. Bahkan sebagian mendapat posisi strategis. Ini bukan anomali. Ini adalah bukti bahwa peran mereka penting dalam ekosistem kekuasaan.
Dalam dunia yang dikendalikan algoritma dan dikuasai narasi, kebencian yang terkontrol lebih berguna daripada cinta yang liar. Publik boleh marah, asal arah marahnya bisa diarahkan.

Publik boleh merasa berani, asal keberanian itu tidak menyentuh jantung kekuasaan. Sakralisasi kebencian membuat kita seolah-olah sedang melakukan perlawanan, padahal kita sedang mengamankan sistem yang kita keluhkan. Kita merasa sedang melawan, padahal kita sedang melayani. Karena ketika publik larut dalam drama tokoh yang dibenci, para pengendali badai tetap bekerja dalam senyap.

Mungkin tidak semua orang punya kekuasaan untuk mengubah sistem. Tapi setiap orang punya kapasitas untuk mengenali pola. Dan mengenali pola adalah awal dari pembebasan. Ketika kita bisa melihat bagaimana amarah kita dibentuk, diarahkan, dan dijadikan alat, kita bisa mulai menarik diri dari permainan itu. Bukan untuk diam, tapi untuk menyusun ulang cara bersuara.

Karena pertanyaannya bukan lagi: *siapa yang kita benci hari ini*? Tapi: *siapa yang diuntungkan dari kebencian itu*? Kemarahan bukan hal yang keliru. Ia adalah energi sosial yang sah. Namun, kemarahan yang diarahkan pada simbol, bukan substansi, hanya akan membuat kita berputar dalam lingkaran frustrasi. Kita merasa berteriak, padahal gema kita hanya dipantulkan oleh dinding yang sengaja dibangun untuk itu. Saatnya berhenti menghantam bayangan, dan mulai menelisik tangan-tangan yang menciptakan cahaya palsu itu (PJ130425)

Written by Akril Abdillah