Oleh: Rahman Yasin
(Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam As-syafi’iyah Jakarta)
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang Pemisahan Pemilihan Umum Nasional dan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) lokal telah menjadi bahan diskusi publik yang ramai. Putusan MK ini di tengah perdebatan silang sengkarut sistem penataan penyelenggaraan pemilu nasional dan pilkada yang sesungguhnya dalam praktik tidak berbeda dengan penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Hanya yang membedakan adalah pemilu nasional itu meliputi pemilu untuk memilih calon anggota DPR, DPD, dan pemilu presiden dan wakil presiden.
Tiga jenis pemilu nasional ini dari dimensi substansi berbeda tetapi dari dimensi teknis penyelenggaraan sama seperti penyelenggaraan pilkada. Pilkada atau pemilihan umum kepala daerah ini secara teori tidak dapat dimaknai sebagai suatu persamaan substansi namun dalam praktik khususnya pelaksanaan tahapan-tahapan yaitu mulai dari tahapan perencanaan, pembahasan materi sampai dengan akhir pelaksanaan yaitu rekapitulasi penghitungan hasil perolehan suara dan penetapan calon terpilih sama sekali tidak ada yang berbeda.
Pilkada sendiri adalah pemilihan yang dimaksudkan untuk memilih calon anggota DPRD Provinsi, pemilihan calon Gubernur dan wakil Gubernur, pemilihan calon DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan calon bupati dan wakil bupati serta calon wali kota dan wakil wali kota yang diselenggarakan secara serentak. Dalam praktik pemilu 2024, baik pemilu nasional maupun pemilu lokal dilaksanakan bersamaan sesuai jadwal yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Praktik keserentakan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal 2024 memunculkan berbagai spekulasi. Bahkan pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019 yang menimbulkan banyak korban nyawa penyelenggara pun kembali diangkat karena dianggap sebagai beban yang tidak pantas diberikan kepada penyelenggara. Kasus meninggalnya ratusan petugas KPPS pada pemilu serentak 2019 menjadi alasan sebagian kalangan agar pemerintah dan DPR segera melakukan evaluasi sistem pemilu. Selain berbagai kasus kecurangan pemilu 2019, problematika penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak 2024 memperkuat argumentasi untuk evaluasi sistem pemilu secara utuh.
Respon Putusan MK
Isu evaluasi sistem pemilu dan pilkada tidak hanya muncul dari kalangan kampus dan penggiat demokrasi tetapi peserta pemilu 2024 bahkan termasuk presiden Prabowo Subianto pun telah membicarakan kemungkinan diubah sistem pemilu yang tidak menguras energi bangsa. Presiden Prabowo telah menyuarakan kemungkinan skema perubahan sistem pemilu yakni pemilu kepala daerah akan dikembalikan ke DPRD. Salah satu pertimbangan pilkada apakah itu dari tingkat provinsi dan kabupaten/kota atau dimulai eksperimen pada tingkat kabupaten/kota belum sempat masuk dalam agenda prolegnas, namun secara mengejutkan MK mengeluarkan putusan nomor 135 tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Jadi, Isu pilkada dikembalikan ke DPRD sebenarnya bukanlah isu baru. Presiden Prabowo Subianto bahkan sudah mewacanakan jauh sebelum terpilih menjadi presiden pada pemilu nasional serentak 2024. Sistem pilkada melalui DPRD bukan sistem baru karena sudah pernah diterapkan pada pemerintahan orde baru dan kenyataan efektif dan efisien.
Ketua Komisi 2 DPR Muhammad Rifqinizami Karsayuda berpandangan, putusan MK kontraproduktif dengan putusan sebelum No. 55/PUU-XVII/2019 yang secara substansial memberikan opsi dinamis bagi pembentuk undang-undang memilih skema keserentakan yang tersedia untuk ditetapkan menjadi sistem pemilu serentak. Putusan MK memisahkan pemilu nasional dan lokal dalam batas waktu dua sampai dengan dua setengah tahun dianggap tidak relevan. Ketua DPR bahkan menekankan agar sistem keserentakan pemilu nasional dan daerah yang sudah diterapkan 2024 harus terus ditingkatkan, bukan kemudian diganti dengan pendekatan baru yang itu harus di mulai dari awal lagi.
Menurut pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, putusan MK memperjelas sekaligus mempertegas norma baru pengaturan sistem pemilu dan pilkada. Jadi dalam negara demokrasi modern itu sesuatu yang lazim apabila ada putusan MK seperti itu. Putusan ini boleh dikatakan suatu terobosan dan perlu mengembangkan kesadaran untuk menjalankan putusan.
Sementara Ahmad Doli Kurnia Tandjung ketua Komisi 2 DPR 2019-2024, menilai putusan MK ini merupakan putusan progresif. Menurutnya, sesuai pengalaman praktik, pemilu serentak lebih memusatkan perhatian masyarakat pada pemilu nasional sehingga isu-isu pembangunan dan penguatan sistem pemerintahan daerah menjadi hilang. Pemilu serentak 2024 cenderung pragmatis sehingga pemisahan pemilu nasional dan daerah adalah salah satu pemikiran konstruktif agar masyarakat fokus pada pembangunan daerah. Putusan MK ini harus direspon cepat DPR untuk revisi undang-undang pemilu, undang-undang pilkada, dan undang-undang partai politik.
Dalam kegiatan Webinar Konstitusi
“Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal: Menata Ulang Demokrasi”, yang diselenggarakan UIN Antasari Banjarmasin (17/7/2025),
Ketua KPU Muhammad Afifuddin, mengatakan, putusan MK terkait pemisahan pemilu dan pilkada lebih pada upaya perbaikan kualitas penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu di satu sisi dan pada sisi lain mengonsentrasikan perhatian masyarakat kepada pembangunan daerah.
Putusan MK telah mengurangi beban kerja penyelenggara dalam keadaan yang krusial yakni pelaksanaan teknis tahapan yang menuntut penyelenggara bekerja dan menyelesaikan sesuai keterbatasan waktu yang ada, dan akan lebih membuka ruang positif bagi partai politik mengusung kader terbaik.
Terlepas dari pro-kontra putusan MK No. 135 tersebut, yang patut dicermati adalah bagaimana hasil putusan itu dimaknai secara bijak oleh semua kalangan terutama pemangku kepentingan yang notabene adalah pembentuk undang-undang atau legislator di senayan? Karena putusan MK merupakan final dan mengikat yang dalam tradisi negara hukum berdasarkan konstitusi Pancasila dan UUD 1945 harus dilaksanakan.
Realitas Praktik
Secara normatif, semangat pembentukan MK tidak terlepas dari tuntutan reformasi 1998 yang menghendaki adanya perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), kekuasaan kehakiman untuk menguji undang-undang berada di tangan Mahkamah Agung, namun terbatas pada pengujian formil semata. Ketiadaan lembaga khusus yang memiliki kewenangan menguji materi undang-undang terhadap konstitusi seringkali menyisakan ruang bagi produk hukum yang berpotensi melanggar hak-hak fundamental warga negara. Oleh karena itu, perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 secara eksplisit mengamanatkan pembentukan sebuah Mahkamah Konstitusi.
Meminjam pemikiran Jimly Asshiddiqie (2006), Mahkamah Konstitusi di Indonesia didirikan sebagai penjaga konstitusi yang memiliki tugas mendasar dalam menjaga supremasi konstitusi dan menegakkan hak-hak konstitusional warga negara. Perannya menjadi sangat krusial, terutama dalam konteks sistem pemilu yang demokratis, di mana pelanggaran norma atau dugaan pelanggaran konstitusi seringkali muncul yang meenciderai kedaulatan rakyat. Kehadiran MK pasca reformasi merupakan respon institusional terhadap kebutuhan akan lembaga peradilan yang independen, yang mampu mengawal konstitusi dari potensi penyimpangan oleh produk legislasi dan praktik pemerintahan. Konsep “penjaga konstitusi” atau guardian of the constitution dan mandat substantif yang menuntut MK untuk senantiasa bertindak melindungi hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional.
Namun demikian, para hakim konstitusi dalam merumuskan putusan sejatinya dapat membaca dan mendalami perkembangan sosial politik yang ada. Putusan MK yang dirumuskan harus menyerap denyut nadih perkembangan praktik politik dan kekuasaan mutakhir. Karena tanpa memikirkan dinamika praktik pemilu dan pilkada antara proses dan hasil yang kerap tidak sesuai harapan masyarakat semestinya dapat menjadi bagian substantif dari pertimbangan fundamental putusan. Putusan tidak hanya memuat implementasi pragmatis yang merepresentasi kepentingan umum dengan mengabaikan asas rasionalitas filosofis empirik dari perkembangan praktik itu sendiri. Jadi putusan MK seharusnya direlevansikan juga dengan perkembangan praktik hasil pilkada dalam konteks membangun negara hukum demokrasi yang bermartabat.
Akan tetapi, apapun anggapan dan perbedaan panafsiran terhadap norma penyelenggaraan pemilu dan pilkada yang ada di masyarakat, putusan MK adalah final dan mengikat sehingga suka tidak suka, mau tidak mau semua pihak harus secara kesatria menerima dan menjalankan. Karena MK diberikan wewenang undang-undang untuk menafsirkan konstitusi bahkan memutus setiap perkara undang-undang yang dianggap bertentantangan dengan konstitusi. Jadi kesadaran etik filosofis sebagai warga negara harus menghormati dan menjalankan putusan dengan baik.
Putusan tersebut mencerminkan MK konsisten mempertahankan sikap mandiri dan secara nyata memperlihatkan integritas yang kuat dengan senantiasa mengedepankan asas keadilan konstitusional pada putusannya. Di tengah arus isu yang kuat mengenai sistem pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD bahkan telah menjadi isu besar dalam pentas kekuasaan politik nasional namun MK dengan berani mengambil terobosan progresif. Pada konteks ini, MK menunjukkan kemandirian peradilan konstitusi dengan tetap menjaga dan melindungi hak-hak fundamental warga negara. Meski dari aspek realitas praktik pemilu dan pilkada serentak dengan waktu yang bersamaan masih menyisahkan berbagai problematika kepemiluan kita. Kenyataan praktik, pemilu dan pilkada serentak berdasarkan kaulitas pemilih (votters) yang tidak terpelajar cenderung menghasilkan pemimpin yang kurang baik.
____________________________
Penulis adalah, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam As-syafi’iyah Jakarta