
JAKARTA -Forum Guru Besar Insan Cita menilai akar dari gejolak sosial-politik belakangan ini berawal dari kegagalan negara mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi. Dalam pernyataan sikap mereka, para akademisi menyebut kemajuan ekonomi Indonesia masih terkonsentrasi pada kelompok tertentu, sementara desa dan daerah tertinggal belum berkembang sebagai pusat pertumbuhan baru.
Kondisi ini, menurut mereka, memperburuk indeks kesengsaraan rakyat dan memicu ketidakpuasan yang meluas.
“Lima puluh persen pendapatan negara masih dinikmati penduduk terkaya. Ketimpangan sosial antara Jawa dan luar Jawa, antara kota dan desa, belum berkurang signifikan,” tulis para guru besar dalam pernyataan yang dikutip Selasa (2/9/2025).
Forum juga menyoroti lambannya reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Mereka menyebut praktik kongkalikong antara pejabat dan pengusaha masih kuat, sementara birokrasi kerap dipimpin figur tanpa integritas dan kapasitas memadai. Situasi ini, kata mereka, melahirkan ketidakpercayaan publik yang kian tinggi terhadap pemerintah dan DPR.
Sebagai solusi jangka menengah, para profesor mengajukan delapan langkah strategis. Di antaranya mendorong Presiden Prabowo memimpin langsung gerakan pemberantasan korupsi, evaluasi menyeluruh regulasi yang membebani rakyat, reformasi birokrasi menuju kelas dunia, serta menjaga agar bonus demografi tidak berubah menjadi bencana demografi.
Mereka juga menegaskan perlunya perbaikan kualitas demokrasi agar tidak terjebak pada praktik liberal yang tercerabut dari nilai-nilai Pancasila. Presiden juga diminta mengevaluasi rencana pendirian perguruan tinggi baru oleh Danantara dan lebih fokus meningkatkan mutu perguruan tinggi yang sudah ada.
“Pernyataan sikap ini adalah panggilan moral dan akademik untuk menjaga keutuhan NKRI, memperkuat demokrasi, dan memastikan kebijakan negara berpihak kepada rakyat,” ujar Prof. R. Siti Zuhro bersama Prof. Didik J. Rachbini mewakili para inisiator. (*)