in

Golkar di Usia 61 Tahun: Antara Warisan Orde Baru dan Tantangan Regenerasi Politik

SYAMSUL QOMAR

SEKRETARIS JENDERAL MNKAHMI

Partai Golkar, yang pada tahun 2025 genap berusia 61 tahun, merupakan satu dari sedikit partai politik di Indonesia yang mampu bertahan melintasi berbagai rezim dan dinamika demokrasi. Sejak lahir sebagai “Golongan Karya” pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto, hingga menjelma menjadi partai modern pasca-reformasi, Golkar memegang posisi unik dalam sejarah politik Indonesia: bukan sekadar partai politik, tetapi juga simbol kontinuitas kekuasaan dan kemampuan adaptasi dalam sistem yang terus berubah.

Sejarah panjang Golkar tidak bisa dilepaskan dari struktur kekuasaan Orde Baru. Dalam tiga dekade kekuasaan Soeharto, Golkar bukan sekadar partai, melainkan alat legitimasi negara. Ia menjadi wajah politik stabilitas dan pembangunan ekonomi, namun di sisi lain mewarisi citra partai yang berakar pada birokrasi, bukan aspirasi rakyat.

Meskipun telah bertransformasi menjadi partai politik yang demokratis, jejak kultur birokratis dan patronase masih terasa kuat. Kaderisasi sering kali lebih menekankan loyalitas terhadap elite dibanding meritokrasi dan ideologi. Akibatnya, ketika demokrasi menuntut partai untuk menjadi institusi representatif, Golkar kerap dipersepsikan sebagai partai “penguasa tanpa arah ideologis”.

Salah satu kekuatan Golkar adalah kemampuan beradaptasi terhadap perubahan politik. Partai ini berhasil tetap relevan bahkan setelah kehilangan “pohon besar” bernama pak Harto. Dalam dua dekade terakhir, Golkar mampu menempatkan kadernya di berbagai posisi strategis—baik di kabinet, legislatif, maupun pemerintahan daerah.

Namun, adaptasi itu sering bersifat pragmatis ketimbang ideologis. Golkar cenderung menyesuaikan arah dukungan politiknya berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan visi kebangsaan yang konsisten. Dalam setiap pemilu, partai ini sering bergeser dari satu koalisi ke koalisi lain tanpa penjelasan ideologis yang jelas, menciptakan kesan bahwa kekuasaan adalah tujuan utama, bukan alat perjuangan.

Dalam dua dekade terakhir, demokrasi Indonesia menunjukkan kecenderungan ganda: di satu sisi populisme semakin menguat, di sisi lain oligarki ekonomi-politik semakin mengakar. Partai Golkar, dengan sejarah panjangnya sebagai partai penguasa, berada tepat di tengah dua arus ini.

Golkar sering kali mengambil posisi “aman” — tidak menentang arus populisme, namun juga tidak sepenuhnya bertransformasi menjadi partai yang memperjuangkan populisme rakyat. Dalam praktiknya, partai ini lebih memilih jalur politik akomodasi elit, menjaga jarak dengan konflik ideologis dan fokus pada konsolidasi posisi strategis dalam pemerintahan.

Kecenderungan ini memperkuat persepsi publik bahwa Golkar lebih berfungsi sebagai partai oligarki yang stabil, bukan sebagai kekuatan transformatif. Elitenya sering berasal dari jaringan bisnis besar, birokrasi senior, atau politisi lama yang memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi. Akibatnya, kebijakan partai cenderung merepresentasikan kepentingan kelas menengah atas dan birokrasi ekonomi, bukan masyarakat marjinal atau akar rumput.

Namun demikian, posisi ini juga memberikan daya tahan politik. Golkar tidak mudah terseret arus populisme ekstrem yang bisa menggoyahkan stabilitas internal, seperti yang dialami partai-partai lain. Partai ini memelihara keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kekuasaan, sesuatu yang jarang dimiliki oleh partai lain di Indonesia.

Sejak reformasi, Golkar hampir selalu menjadi bagian dari pemerintahan, baik di bawah presiden yang berasal dari luar partai (SBY, Jokowi) maupun ketika mendukung calon dari koalisi lain. Pola ini menunjukkan strategi realistis Golkar dalam menjaga eksistensi kekuasaan, tetapi juga menimbulkan dilema serius: apakah Golkar masih memiliki identitas politik yang otonom?

Kedekatan dengan kekuasaan eksekutif sering membuat Golkar kehilangan daya kritisnya. Partai yang seharusnya menjadi kekuatan legislatif yang tangguh justru lebih sering berperan sebagai penopang kebijakan pemerintah tanpa sikap korektif yang jelas. Di DPR, Golkar cenderung stabil, tapi jarang tampil sebagai pelopor agenda reformasi politik atau kebijakan sosial progresif.

Dengan kata lain, Golkar menjadi bayangan kekuasaan, bukan mitra yang setara. Keputusan-keputusan strategis partai sering diambil berdasarkan konstelasi kekuasaan jangka pendek, bukan visi ideologis jangka panjang. Inilah yang membedakan Golkar masa kini dengan partai-partai modern di negara demokrasi maju, yang justru memperkuat pengaruhnya melalui gagasan kebijakan, bukan sekadar posisi dalam pemerintahan.

Antara Ideologi Pembangunan dan Krisis Narasi

Secara historis, Golkar berakar pada ideologi pembangunan — developmentalisme — yang menekankan pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan birokratisasi pemerintahan. Ideologi ini sangat relevan di masa Orde Baru, ketika pembangunan ekonomi menjadi simbol kemajuan.

Namun dalam konteks demokrasi saat ini, narasi “pembangunan” tanpa dimensi keadilan sosial dan partisipasi publik mulai kehilangan daya tarik. Generasi muda, yang lebih melek isu lingkungan, kesetaraan, dan tata kelola pemerintahan bersih, sulit terhubung dengan jargon pembangunan konvensional.

Golkar tidak sepenuhnya gagal membaca perubahan zaman, tetapi belum mampu memformulasikan ulang narasi ideologinya. Upaya seperti “Golkar bersih”, “Golkar digital”, atau “Golkar muda” muncul, namun lebih bersifat kosmetik daripada konseptual. Tanpa reposisi ideologi yang jelas, partai ini berisiko menjadi institusi yang hanya hidup dari nostalgia sejarah dan jaringan kekuasaan lama.

Modernisasi partai politik menuntut dua hal: pembaruan struktur internal dan pembaruan gagasan politik. Golkar relatif berhasil pada aspek pertama — struktur partai yang solid dari pusat hingga daerah masih menjadi model bagi banyak partai lain. Namun di aspek kedua, pembaruan gagasan, Golkar tertinggal.

Partai ini masih minim dalam memproduksi kebijakan berbasis riset dan inovasi sosial. Lembaga-lembaga think-tank internal tidak berkembang secara signifikan, sementara pendidikan kader lebih banyak menekankan aspek teknis dan loyalitas politik. Akibatnya, Golkar belum mampu menjadi sumber inspirasi kebijakan publik yang canggih — sebuah peran yang semestinya dimiliki partai sebesar Golkar di negara demokrasi.

Menjelang masa depan demokrasi digital dan pemerintahan berbasis data, Golkar menghadapi ujian terbesar dalam sejarahnya: apakah ia akan menjadi partai konservatif yang sekadar menjaga tradisi kekuasaan, atau partai reformis yang memimpin transformasi politik berbasis pengetahuan dan teknologi.

Transformasi itu menuntut tiga langkah strategis:

Pertama, Kaderisasi berbasis meritokrasi dan kompetensi — membuka ruang bagi generasi muda, profesional, dan akademisi yang mampu membawa ide-ide baru.

Kedua, Reformasi pendanaan politik yang transparan — untuk mengurangi ketergantungan pada oligarki dan meningkatkan legitimasi publik.

Ketiga, Formulasi ulang ideologi pembangunan — agar lebih humanistik, ekologis, dan inklusif sesuai tuntutan zaman.

Jika Golkar mampu melaksanakan langkah-langkah ini, maka usia 61 bukanlah puncak kejayaan masa lalu, melainkan titik awal kebangkitan baru — dari partai kekuasaan menjadi partai pengetahuan, dari simbol stabilitas menjadi simbol inovasi politik.

Di tengah populisme baru dan munculnya partai-partai baru, dan semakin eksisnya partai-partai lama, Golkar menghadapi krisis regenerasi dan relevansi. Basis pemilih tradisional—pegawai negeri, birokrat, dan masyarakat pedesaan—semakin menua, sementara generasi muda urban sulit terhubung dengan citra partai yang dianggap “tua dan mapan”.

Upaya modernisasi citra melalui media sosial dan kampanye digital belum cukup menembus persepsi publik bahwa Golkar adalah partai status quo. Salah satu tantangan paling serius bagi Golkar saat ini adalah regenerasi politik. Regenerasi elite di tubuh partai masih dirasakan berjalan lambat, sebelum munculnya ketua umum Bahlil Lahadalia, dominasi tokoh-tokoh senior sering kali menghalangi munculnya figur muda progresif. Partai ini masih didominasi oleh elite lama yang berasal dari generasi Orde Baru atau reformasi awal.

Dengan kemunculan ketua umum Bahlil dan Sekjen Sarmuji regenerrasi di tubuh golkar tengah berjalan kedepan menuju langkah-langkah yang lebih progresif. Figur-figur muda seperti Nurul Arifin, Ahmad Doli Kurnia, Mukhtarudin, Zulfikar Arse Sadikin, Wihaji, dan masih banyak lagi talenta muda lainnya, yang memiliki integritas dan komitmen yang bersar untuk membangun partai, menjadi “partai masa depan” yang memimpin arah perubahan sosial-politik. Bukan “partai senior” yang hidup dari kejayaan masa lalu.

Untuk menghindari jebakan ini, Golkar harus berani menggeser paradigma kaderisasi dari patronase menjadi inovasi — memberi ruang bagi kader muda untuk berdebat, bereksperimen dengan gagasan, dan mengelola isu-isu baru seperti ekonomi hijau, digital governance, dan kesetaraan gender.

Salah satu kekuatan tersembunyi Golkar adalah pengaruhnya di tingkat lokal. Di banyak provinsi dan kabupaten, Golkar masih menjadi partai dengan infrastruktur politik paling kuat, berkat jaringan lama birokrasi dan Bupati/Wali Kota yang menjadi kader partai. Namun, kekuatan daerah ini juga membawa risiko fragmentasi dan feodalisme lokal. Dalam banyak kasus, elite daerah Golkar berperilaku lebih seperti “penguasa kecil” daripada kader partai yang tunduk pada prinsip kolektif. Akibatnya, partai sering menghadapi kesulitan menjaga disiplin dan arah politik yang seragam antara pusat dan daerah.

Di era otonomi dan desentralisasi fiskal, tantangan Golkar bukan lagi sekadar mempertahankan jaringan, tetapi membangun integritas dan visi bersama di seluruh tingkatan partai. Tanpa itu, Golkar berisiko menjadi konfederasi elite daerah yang longgar, bukan organisasi politik yang solid secara ideologis.

Kritik utama terhadap Golkar selama dua dekade terakhir adalah politik transaksional yang melekat pada proses pengambilan keputusan internal dan eksternal. Pemilihan ketua umum sering kali diwarnai lobi kekuasaan dan dukungan finansial, bukan pertarungan gagasan. Pola yang sama terjadi dalam relasi antara elite pusat dan daerah, yang masih berlandaskan patron-klien. Tantangan terbesar Golkar di usia ke-61 adalah melampaui politik uang dan transaksional menuju politik nilai. Jika tidak, partai ini akan terus menjadi pemain penting secara struktural, tetapi kehilangan relevansi moral dan ideologis di mata publik.

Pemilu 2024 menandai fase baru dalam politik Indonesia — bukan hanya karena transisi kepemimpinan nasional, tetapi juga karena semakin kaburnya batas ideologis antarpartai. Di tengah polarisasi yang mulai menurun dan pragmatisme yang meningkat, Partai Golkar kembali menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dan bertahan di tengah perubahan konstelasi kekuasaan.

Golkar berada dalam posisi unik: tidak memiliki basis ideologis sekuat PDIP, tidak sekarismatik Gerindra yang dipersonifikasikan oleh figur Prabowo, namun memiliki struktur kelembagaan yang paling mapan dan berakar hingga tingkat desa. Jaringan inilah yang membuat Golkar selalu relevan dalam setiap kontestasi, bahkan ketika tren politik tampak tidak menguntungkannya. Namun, setelah 2024, partai ini menghadapi dilema:

Jika tetap berada dalam orbit kekuasaan, Golkar berisiko kehilangan otonomi politik. Jika mengambil peran oposisi, ia berhadapan dengan risiko kehilangan akses sumber daya dan patronase yang menjadi nadi kekuatannya.

Dengan demikian, posisi Golkar di pasca-2024 sangat tergantung pada kemampuan elite partai membaca arah kekuasaan baru, serta keberanian untuk menempatkan diri bukan sekadar sebagai “penyeimbang”, tetapi sebagai penentu arah kebijakan nasional.

Dari Partai Kekuasaan ke Partai Pengetahuan

Untuk tetap bertahan di era demokrasi digital dan politik berbasis isu, Golkar perlu mengubah orientasi: dari partai kekuasaan menjadi partai pengetahuan—partai yang mengedepankan kebijakan berbasis riset, inovasi sosial, dan rekam jejak pengabdian publik.

Dengan sumber daya dan jaringan yang luas, Golkar sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi laboratorium kebijakan publik Indonesia. Namun potensi itu hanya dapat terealisasi jika partai berani melepaskan beban sejarah dan membuka ruang bagi pemikiran baru.

Enam dekade lebih Partai Golkar telah menjadi saksi perjalanan bangsa ini: dari otoritarianisme menuju demokrasi, dari birokrasi menuju politik keterbukaan. Namun sejarah panjang itu juga membawa beban — beban untuk berubah tanpa kehilangan jati diri.

Golkar di usia 61 tahun bukan hanya sedang menghadapi ujian elektoral, tetapi ujian eksistensial: Apakah ia akan tetap menjadi “partai masa lalu yang bertahan di masa kini”,atau mampu menjadi “partai masa depan yang lahir dari kebijaksanaan sejarah”?

Di usia 61 tahun, Partai Golkar berdiri di persimpangan sejarah. Ia bisa memilih menjadi penjaga tradisi lama yang kian usang, atau pelopor reformasi politik yang cerdas dan berintegritas. Golkar telah membuktikan kemampuan bertahan. Namun pertanyaan yang lebih penting kini bukan lagi berapa lama ia bisa bertahan, melainkan apakah ia masih relevan untuk masa depan demokrasi Indonesia.

Di usia 61 tahun, Partai Golkar telah melewati siklus politik yang panjang — dari masa kejayaan absolut, kejatuhan pasca-reformasi, hingga kebangkitan adaptif di era koalisi multipartai. Namun kini, Golkar menghadapi ujian paling substansial: bukan tentang seberapa kuat ia bertahan, tetapi seberapa bermakna ia bagi masa depan bangsa.

Untuk bertahan di era politik digital dan masyarakat kritis, Golkar harus:

Pertama, Mendefinisikan ulang ideologinya — menggabungkan semangat pembangunan dengan nilai keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan demokrasi partisipatif.

Kedua, Mentransformasi kaderisasi — dari loyalitas ke kompetensi, dari hierarki ke kolaborasi.

Ketiga, Mereposisi peran dalam kekuasaan — dari partai pendukung menjadi partai pengarah kebijakan publik berbasis pengetahuan.

Jika mampu melampaui warisan masa lalu dan memperbarui diri dengan visi masa depan, maka usia 61 tahun bukan sekadar perayaan panjang umur, tetapi momentum lahirnya Golkar generasi baru — partai yang bukan lagi simbol kekuasaan, melainkan simbol kebijakan, inovasi, dan keberlanjutan demokrasi Indonesia.

SELAMAT ULANG TAHUN PARTAI GOLKAR

TERUS BERKARYA UNTUK KEJAYAAN BANGSA(*)

Baca Juga :  Jangan Lupakan 3 April, Hari NKRI

Written by Sayuti