Pada tanggal 29 Oktober bertempat di KAHMI Centre, MN KAHMI mengadakan diskusi yang bertajuk Refleksi 1 Tahun Pemerintahan Presiden Prabowo, bidang Ekonomi dan Ketahanan pangan. Hadir sebagai Narasumber Dr. M. Syarkawi Rauf, Pengamat Ekonomi dan Dosen Univ. Hasanuddin Makasar dan Khudori Pengamat Ekonomi Pertanian dari Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI)
Dalam acara yang dipandu oleh Syamsul Qomar Sekjen MN KAHMI, Dr. Syarkawi berpandangan bahwa perekonomian nasional masih membutuhkan kerja keras untuk mencapai pertumbuhan 6 sampai 8 % sebagai target yang yang sudah ditetapkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo. Perlunya Mendorong R&D dan membangun ekosistem pengembangan teknologi melalui keterkaitan antara pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Serta pentingnya mengakselerasi transformasi ekononoi dari natural resource based ke manufacture based. Yang tidak kalah pentinya adalah perlunya membangun aglomerasi ekonomi di seluruh propinsi untuk membangun pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa
Sementara Pengamat ekonomi pertanian Khudori menyampaikan bahwa untuk mewujudkan swasembada pangan dibutuhkan beberapa langkah antara lain dengan menempatkan (kembali) pertanian sebagai basis industry dan mengubah organisasi pengelola sektor pertanian dari pendekatan sektoral berbasis komoditas menjadi pendekatan berbasis sistem dan usaha agribisnis, serta pertingnya keterpaduan pengelolaan sumber daya pertanian.
Secara keseluruhan MN KAHMI berpandangan bahwa, memasuki tahun pertama masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, arah kebijakan ekonomi dan pangan nasional sudah mulai terbentuk. Namun, di balik capaian positif seperti pertumbuhan ekonomi yang stabil dan peningkatan produksi beras, masih terdapat sejumlah tantangan dan catatan kritis yang perlu mendapat perhatian serius pemerintah.
1. Ketimpangan Implementasi Kebijakan Ekonomi
Salah satu persoalan utama di tahun pertama adalah ketimpangan antara visi kebijakan dan realisasi di lapangan. Meskipun pertumbuhan ekonomi nasional berada di kisaran 5%, pemerataan hasil pertumbuhan belum sepenuhnya dirasakan oleh kelompok masyarakat bawah, terutama di sektor informal dan pedesaan.
Program-program stimulus dan bantuan UMKM memang berjalan, tetapi masih banyak pelaku usaha mikro yang belum memiliki akses langsung ke pembiayaan murah maupun program digitalisasi ekonomi. Sebagian di antaranya terkendala persyaratan administrasi dan literasi digital yang rendah.
Selain itu, investasi besar yang masuk di sektor industri pangan dan energi belum sepenuhnya berdampak pada penciptaan lapangan kerja lokal. Beberapa proyek strategis masih terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia, sehingga ketimpangan antarwilayah tetap menjadi pekerjaan rumah besar.
2. Swasembada Pangan: Naik Produksi, tapi Belum Mandiri
Peningkatan produksi beras nasional sebesar 8% memang patut diapresiasi. Namun, kemandirian pangan secara menyeluruh masih jauh dari tercapai. Masyarakat masih mengeluhkan tingginya harga beras. Indonesia masih mengandalkan impor jagung, kedelai, gula, dan daging sapi, yang menyebabkan defisit perdagangan komoditas pangan strategis tetap tinggi.
Kebijakan perluasan lahan dan modernisasi pertanian juga menghadapi kendala serius, di antaranya: Lambatnya realisasi pembukaan lahan baru, karena terkendala perizinan, tumpang tindih tata ruang, dan resistensi sosial di daerah. Ketergantungan tinggi terhadap pupuk kimia dan benih impor, yang membuat biaya produksi petani masih mahal.
Minimnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan data pangan, sehingga terjadi perbedaan angka produksi antar instansi. Akibatnya, meskipun produksi meningkat, harga beras di pasaran masih cenderung tinggi, terutama di kota-kota besar. Ini menandakan bahwa rantai distribusi dan sistem logistik pangan belum efisien.
3. Ekonomi Rakyat: Masih Tertekan di Lapisan Bawah
Di tengah stabilitas makroekonomi, daya beli masyarakat kelas bawah belum sepenuhnya pulih. Kenaikan harga pangan dan bahan pokok di awal tahun 2025 menjadi tekanan tersendiri bagi rumah tangga miskin, meskipun inflasi nasional relatif terkendali.
Sebagian besar masyarakat menilai pertumbuhan ekonomi masih didominasi oleh sektor besar dan investor asing, sedangkan ekonomi rakyat masih berjuang menghadapi tingginya biaya hidup. Program pembiayaan ultra mikro (UMi) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) memang meningkat, tetapi proses pencairan lambat dan belum menjangkau seluruh pelaku usaha kecil.
Kritik publik juga muncul terhadap kebijakan fiskal yang dinilai belum cukup progresif dalam menekan ketimpangan pendapatan. Kelas menengah ke bawah masih rentan, sementara lapangan kerja formal belum bertambah signifikan di luar sektor pertanian.
4. Koordinasi dan Tata Kelola Data Pangan Lemah
Masalah klasik yang terus berulang adalah ketidaksinkronan data pangan nasional. Antara Kementerian Pertanian, Bulog, dan BPS kerap terjadi perbedaan angka produksi dan stok beras, sehingga menyulitkan perencanaan kebijakan. Kelemahan sistem data ini membuat pemerintah terlambat mengambil langkah intervensi harga saat stok di pasar menipis.
Selain itu, transparansi impor pangan juga menjadi sorotan. Publik menilai kebijakan impor masih sering dilakukan secara mendadak dan tidak sepenuhnya didasarkan pada data kebutuhan aktual di lapangan. Tanpa sistem data pangan nasional yang kuat, cita-cita swasembada pangan berkelanjutan akan sulit diwujudkan.
5. Tantangan Lingkungan dan Ketergantungan pada Sektor Primer
Kebijakan ekspansi lahan pertanian skala besar juga mendapat kritik dari kalangan pemerhati lingkungan. Beberapa proyek food estate dinilai belum memperhatikan aspek ekologi dan sosial, terutama di kawasan hutan dan lahan gambut. Ada kekhawatiran bahwa orientasi mengejar produksi jangka pendek bisa mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan keseimbangan ekosistem.
Selain itu, struktur ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada sektor primer (pertanian dan pertambangan), sementara transformasi ke sektor industri pangan olahan dan teknologi pertanian modern berjalan lambat. Tanpa diversifikasi ekonomi yang kuat, ketahanan nasional terhadap guncangan global tetap rentan.
6. Antara Harapan dan Realitas
MN KAHMI masih optimistis terhadap kepemimpinan Prabowo-Gibran, namun menilai bahwa hasil konkret belum sepenuhnya dirasakan di tingkat bawah. Satu tahun pertama seharusnya menjadi masa penyusunan fondasi kebijakan ekonomi yang lebih struktural, bukan sekadar program reaktif atau seremonial. Tanpa arah industrialisasi dan efisiensi logistik yang jelas, capaian swasembada pangan bisa bersifat sementara.
Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran memberikan arah yang menjanjikan bagi kemandirian ekonomi nasional. Namun, tantangan fundamental masih besar: tata kelola, data, pemerataan, dan konsistensi implementasi kebijakan. Cita-cita kedaulatan pangan dan ekonomi berdaulat hanya dapat dicapai bila reformasi sektor pertanian, logistik, dan distribusi benar-benar dijalankan secara menyeluruh dan berkeadilan.
